Halaman

My chasum

My chasum

Minggu, 16 Januari 2011

cerpen

 Kiamat Memang Sudah Dekat
    • Dewi Lestari

Kiamat bagi sebagian orang adalah peristiwa magis cenderung komikal, melibatkan naga berkepala tujuh atau jembatan dari rambut dibelah tujuh. Peristiwa ini merupakan intervensi pihak eksternal, yakni Tuhan, yang akan datang menghakimi manusia di hari yang tak terduga.
Lalu, jika tiba peristiwa alam yang meluluhlantakkan sebagian besar Bumi sebelah utara, melenyapkan sebagian besar Eropa, menihilkan kehidupan di Rusia, menyusutkan populasi AS hingga separuh, merusak berat Australia, Jepang, dan menenggelamkan pesisir pantai dunia hingga enam meter, menciutkan populasi Bumi sekurangnya duapuluh persen, lalu membiarkan sisanya dicengkeram iklim ekstrem dan kekacauan global, akankah ini cukup untuk sebuah definisi hari kiamat?
Saya terusik ketika membaca buku Graham Hancock "Fingerprints of the Gods". Dengan bukti-bukti yang ia kompilasi dari peradaban kuno Aztec, Maya, Hopi, dan Mesir, Hancock menemukan jejak peradaban yang kecanggihannya melebihi peradaban modern hari ini, tapi hilang sekitar 10,000 tahun SM oleh sebuah bencana katastrofik yang mengempaskan ras manusia kembali ke Zaman Batu. Bukti geologis pun mendukung bahwa Bumi telah beberapa kali mengalami climate shift.
***
Suku Maya dikenal sangat obsesif terhadap hari kiamat. Mereka percaya lima siklus kehidupan (atau 'matahari') telah terjadi. Dan sistem canggih kalendar mereka (Hancock meyakininya sebagai warisan dan bukan temuan) menghasilkan perhitungan bahwa matahari ke-5 (Tonatiuh), yakni zaman kita sekarang, berlangsung 5125 tahun dan berakhir pada tanggal 23 Desember 2012 AD. Sementara itu, peradaban Mesir Kuno menghitung siklus axial Bumi terhadap kedua belas rasi bintang. Siklus yang totalnya 25,920 tahun ini bergeser teratur, masing-masing 2160 tahun untuk tiap rasi. Posisi kita sekarang, rasi Pisces, telah menuju penghabisan, bertransisi ke Aquarius dengan pergolakan dahsyat.
Dengan pendekatan yang lebih esoterik, Gregg Braden dalam bukunya "Awakening to Zero Point" meninjau fenomena polar shifting, yakni bertukarnya Kutub Utara dan Kutub Selatan yang ditandai oleh melemahnya intensitas medan magnet Bumi — tercatat sudah turun sebanyak tigapulu delapan persen dibandingkan 2000 tahun lalu dan dipercaya akan sampai ke titik nol sekitar tahun 2030 AD. Fenomena alam ini sudah 14 kali terjadi dalam kurun waktu 4,5 juta tahun.
Di luar dari kontroversi saintifik soal teori Hancock dan Braden, sukar untuk disangkal bahwa Bumi kita memang tak lagi sama. Tahun 1998 tercatat sebagai salah satu puncak perilaku alam yang luar biasa. El Nino, disusul oleh La Nina, lalu Tibet dan Afrika Selatan masing-masing mengalami musim dingin dan banjir terburuk dalam limapuluh tahun terakhir. Memasuki tahun 2005, tsunami memporak-porandakan Asia, lalu Katrina menghantam Amerika Serikat. Entah apa lagi yang akan kita hadapi.
Namun pemahaman kita merangkak lamban seperti siput dibandingkan alam yang bagai kuda mengamuk. Isu pemanasan global membutuhkan satu dekade lebih untuk diakui para skeptis dan birokrat. Di Indonesia, sumber energi alternatif baru ramai dibahas setelah harga BBM melonjak, setelah bangsa ini terlanjur ketergantungan minyak. Isu pengolahan sampah dapur hanya sampai taraf bisik-bisik, itu pun setelah gunung sampah longsor dan memakan korban.
Selain upaya kalangan industri yang dirugikan oleh turunnya konsumsi energi fosil, lambannya respons kita juga disebabkan perkembangan sains ke pecahan-pecahan spesialiasi hingga fenomena yang tersebar acak jarang diintegrasikan menjadi satu gambaran utuh, dan tanpa sebuah model analisa yang sanggup menunjuk satu tanggal pasti, bencana katastrofik ini hanya menjadi wacana spekulatif. Sekarang ini bisa dibilang kita dibanjiri data dan gejala tanpa sebuah kerangka diagnosa.
Pengetahuan kita tentang akhir dunia pun stagnan dalam kerangka mitos biblikal yang sulit dikorelasikan dengan efek panjang kebakaran hutan atau eksploitasi alam, hingga lazimlah jika orang beribadah jungkir-balik demi mengantasipasi hari penghakiman tetapi terus membuang sampahnya sembarangan. Untuk itu dibutuhkan pemahaman akan bahaya dari pemanasan global, dan tindakan nyata untuk meresponsnya dengan urgensi skala hari kiamat.
Ada tidaknya hubungan knalpot mobil kita dengan cairnya es di kutub, bukankah kualitas udara yang baik berefek positif bagi semua? Lupakan plang 'Sayangilah Lingkungan'. Kita telah sampai pada era tindakan nyata. Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan dari rumah tanpa perlu menunggu siapa-siapa. Perubahan gaya hidup adalah tabungan waktu kita, demi peradaban, demi yang kita cinta.
Angkot kita satu dan sama: Bumi. Tarif yang kita bayar juga sama, mau kiamat jauh atau dekat. Tidak ada angkot lain yang menampung kita jika yang satu ini mogok. Penumpang yang baik akan memelihara dan membantu kendaraan satu-satunya ini. Sekuat tenaga.
Satu Orang Satu Pohon
    • Dewi Lestari

Ada yang tidak beres dalam perjalanan saya menuju Jakarta. Di sepanjang jalan menuju gerbang tol Pasteur, saya melihat pokok-pokok palem dalam kondisi terpotong-potong, tersusun rapi di sana-sini, apakah ini jualan khas Bandung yang paling baru? Sayup, mulai terdengar bunyi mesin gergaji. Barulah saya tersadar. Sedang dilakukan penebangan pohon rupanya. Dari diameter batangnya, saya tahu pohon-pohon itu bukan anak kemarin sore. Mungkin umurnya lebih tua atau seumur saya. Pohon palem memang pernah jadi hallmark Jalan Pasteur, tapi tidak lagi. Setidaknya sejak hari itu. Hallmark Pasteur hari ini adalah jalan layang, Giant, BTC, Grand Aquila, dan kemacetan luar biasa.
Bukan yang pertama kali penebangan besar-besaran atas pohon-pohon besar dilakukan di kota kita. Seribu bibit jengkol pernah dipancangkan sebagai tanda protes saat pohon-pohon raksasa di Jalan Prabudimuntur habis ditebangi. Jalan Suci yang dulu teduh juga sekarang gersang. Kita menjerit sekaligus tak berdaya. Bukankah harus ada harga yang dibayar demi pembangunan dan kemakmuran Bandung? Demi jumlah penduduknya yang membuncah? Demi kendaraan yang terus membeludak? Demi mobil plat asing yang menggelontori jalanan setiap akhir pekan? Beda dengan sebagian warganya, pohon tidak akan protes sekalipun ratusan tahun hidupnya disudahi dalam tempo sepekan. Pastinya lebih mudah menebang pohon daripada menyumpal mulut orang.
***
Seorang arsitek legendaris Bandung pernah berkata, lebih baik ia memeras otak untuk mendesain sesuai kondisi alam ketimbang harus menebang satu pohon saja, karena bangunan dapat dibangun dan diruntuhkan dalam sekejap, tapi pohon membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh sama besar. Sayangnya, pembangunan kota ini tidak dilakukan dengan paham yang sama. Para pemimpin dan perencana kota ini lupa, ukuran keberhasilan sebuah kota bukan kemakmuran dadakan dan musiman, melainkan usaha panjang dan menyicil agar kota ini punya lifetime sustainability sebagai tempat hidup yang layak dan sehat bagi penghuninya.
Bandung pernah mengeluh kekurangan 650.000 pohon, tapi di tangannya tergenggam gergaji yang terus menebang. Tidakkah ini aneh? Tak heran, rakyat makin seenaknya, yang penting dagang dan makmur. Bukankah itu contoh yang mereka dapat? Yang penting proyek 'basah' dan kocek tambah tebal. Proyek hijau mana ada duitnya, malah keluar duit. Lebih baik ACC pembuatan mall atau trade centre. Menjadi kota metropolis seolah-olah pilihan tunggal. Kita tidak sanggup berhenti sejenak dan berpikir, adakah identitas lain, yang mungkin lebih baik dan lebih bijak, dari sekadar menjadi metropolitan baru?
Saya percaya perubahan bisa dilakukan dari rumah sendiri, tanpa harus tunggu siapa-siapa. Jika kita percaya dan prihatin Bandung kekurangan pohon, berbuatlah sesuatu. Kita bisa mulai dengan Gerakan Satu Orang Satu Pohon. Hitung jumlah penghuni rumah Anda dan tanamlah pohon sebanyak itu. Tak adanya pekarangan bukan masalah, kita bisa pakai pot, ember bekas, dsb. Mereka yang punya lahan lebih bisa menanam jumlah yang lebih juga. Anggaplah itu sebagai amal baik Anda bagi mereka yang tak bisa atau tak mau menanam. Pesan moralnya sederhana, kita bertanggung jawab atas suplai oksigen masing-masing. Jika pemerintah kota ini tak bisa memberi kita paru-paru kota yang layak, tak mampu membangun tanpa menebang pohon, mari perkaya oksigen kita dengan menanam sendiri.
Ajarkan ini kepada anak-anak kita. Tumbuhkan sentimen mereka pada kehidupan hijau. Bukan saja anak kucing yang bisa jadi peliharaan lucu, mereka juga bisa punya pohon peliharaan yang terus menemani mereka hingga jadi orangtua. Mertua saya punya impian itu. Di depan rumah yang baru kami huni, ia menanam puluhan tanaman kopi. Beliau berharap cucunya kelak akan melihat cantiknya pohon kopi, dengan atau tanpa dirinya. Sentimen sederhananya tidak hanya membantu merimbunkan Bukit Ligar yang gersang, ia juga telah membuat hallmark memori, antara dia dan cucunya, lewat pohon kopi.
Kota ini boleh jadi amnesia. Demi wajahnya yang baru (dan tak cantik), Bandung memutus hubungan dengan sekian ratus pohon yang menyimpan tak terhitung banyaknya memori. Kota ini boleh jadi menggersang. Jumlah taman bisa dihitung jari, kondisinya tak menarik pula. Namun mereka yang hidup di kota ini bisa memilih bangun dan tak ikut amnesia. Hati mereka bisa dijaga agar tidak ikut gersang. Rumah kita masih bisa dirimbunkan dengan pohon dan aneka tanaman. Besok, atau lusa, siapa tahu? Bandung tak hanya beroleh 650.000 pohon baru, melainkan jutaan pohon dari warganya yang tidak memilih diam.
Mirror, Mirror on the Wall....
    • Dewi Lestari

Saya teringat awal tahun 1990-an ketika produk pemutih wajah pertama kali diperkenalkan. Saya baru mulai kuliah saat itu. Saya tak ingat persis yang mana, tapi saya pernah mencoba memakai salah satu produk tersebut, tidak lama-lama karena kurang cocok. Dan dari masa itu hingga sekarang, tak terhitung lagi banyaknya aneka produk pemutih kulit yang ditawarkan berbagai produsen. Cara mereka beriklan pun semakin luar biasa cerdik. Putihnya kulit dihubungkan dengan peluangnya menemukan cinta, dengan putihnya hati nurani, dengan kebahagiaan, hingga perebutan jodoh dalam tujuh hari. Gosong akibat kebanyakan beraktivitas di bawah terik matahari tidak lagi menjadi alasan yang spesial.
Mereka yang kurang putih digambarkan murung, tak mendapat perhatian cukup, selalu dilewatkan oleh sang pujaan, alias tak bahagia. Sementara mereka yang sudah putih atau akhirnya berhasil putih menjadi lebih semringah, diperhatikan orang-orang, dan mendapatkan cinta. Singkat kata, lebih bahagia.
Melihat iklan-iklan itu, saya jadi bertanya-tanya, mengorek-ngorek ingatan saya: pernahkah saya bertemu kasus di mana seseorang ditinggalkan karena kurang putih? Atau pernahkah saya sendiri, ketika harus menentukan pasangan, mendasarkan penilaian saya atas kadar melanin kulit mereka? Jujur, saya belum pernah. Pada akhirnya, yang membuat saya betah bersama dengan seseorang adalah kecocokan, ketersambungan sinapsis, hati, dan jiwa. Sesuatu yang tak bisa diverbalkan atau bahkan divisualisasikan.
Dibutuhkan waktu sepuluhan tahun, dan beberapa kali menjadi duta produk perawatan kulit, hingga akhirnya saya memahami bahwa kata 'memutihkan' cenderung menyesatkan (beberapa perusahaan lantas memilih kata 'mencerahkan' karena dianggap lebih realistis). Dibutuhkan pengalaman hidup untuk akhirnya mampu menyimpulkan bahwa tampilan fisik—termasuk di dalamnya: warna kulit—bukanlah penentu dalam menghadirkan cinta dan kebahagiaan.
Dibutuhkan pula obrol-obrol dengan para insan periklanan dan perfilman untuk tahu bahwa bintang iklan pemutih kulit memang sudah putih dari sananya. Kalaupun kurang putih, masih ada lampu, bedak, dan sulap digital yang mampu menghadirkan citra apa saja yang dimau sang pengiklan. Dibutuhkan juga buku genetika dan memetika untuk akhirnya memahami mengapa para perempuan tak hentinya berlomba-lomba mengikuti standar cantik masyarakat, dan para pria tak usainya bepacu menjadi yang paling kaya dan sukses, di luar dari batas logika mereka.
***
Beberapa hari yang lalu, saya terlibat diskusi dengan beberapa teman pria saya. Mereka mempertanyakan, kenapa kok pasangan-pasangan mereka, tak henti-hentinya menyoalkan berat badan, gaya busana, kecantikan kulit, dan sebagainya. Saya berceletuk, karena kompetisi genetika. Mereka yang lebih cantik akan punya peluang lebih besar untuk mendapatkan pasangan. Argumen saya dibalas lagi: tapi kan mereka sudah memperoleh pasangan—yakni, teman-teman saya tadi. Lalu, kok masih terus-terusan repot? Mereka repot berdandan untuk siapa, dan untuk apa? Padahal teman-teman saya tidak merasa memberikan aneka tuntutan atas penampilan mereka. Kalau sudah cinta, ya, cinta saja.
Jika kaum perempuan mendengar pernyataan itu, pastilah mereka bilang bahwa teman-teman saya itu spesies langka, atau mungkin cuma munafik. Tidak ada pria di muka Bumi ini yang tidak menginginkan pasangannya cantik dan menarik. Namun saya tidak terburu-buru melempar komentar senada. Apa yang dibilang teman-teman saya cukup logis, memang. Kalau pasangannya sudah dapat, jadi buat apa lagi repot?
Lalu saya berceletuk lagi, bahwa selama perempuan itu masih subur, dan selama pasangannya pun masih sanggup bereproduksi, kompetisi genetika tidak akan pernah selesai. Baik perempuan, maupun laki-laki, akan selalu berada di bawah bayang-bayang kendali primordial mereka: prokreasi. Agenda genetika hanya satu: kelangsungan hidup dan replikasi diri. Bagi kaum hawa, kebutuhan itu lantas diterjemahkan menjadi kompetisi keamanan dan kepastian bagi dirinya serta keturunannya. Bagi kaum adam, penerjemahannya adalah kompetisi menjadi yang terkuat agar berpeluang besar untuk meneruskan keturunan.
Dalam perkembangan peradaban, tentu konsep ini pun semakin canggih dan berlapis-lapis, walau jika dikupas isinya sama-sama saja. 'Kuat' pada zaman batu berarti cerdik dan tangguh hingga mampu menghadapi ancaman predator. 'Cantik' pada zaman itu artinya subur hingga mampu beranak banyak. Sekarang, 'kuat' berarti aset finansial, 'cantik' berarti dada-pinggul besar, berdandan seksi, cerdas, dan seterusnya. Silakan dikupas, dan kita akan menemukan inti yang sama: keamanan dan jaminan prokreasi.
***
Seumpama jerapah yang berevolusi hingga lehernya panjang, otak manusia pun berkembang sedemikian rupa hingga kita bisa berkomunikasi dengan akurat sampai akhirnya menjadi spesies penguasa. Dilihat dari proporsi tubuh kita, para hewan akan melihat bayi manusia sebagai makhluk aneh dengan otak yang terlampau besar. Dan itulah hadiah evolusi untuk manusia. Sebagai makhluk tak bercakar, tak bertaring, dan kulit yang terlampau halus, manusia berhasil menjadi spesies dominan karena kecanggihan otaknya dan keterampilan jemarinya.
Manusia bukan pula semata-mata budak genetika. Evolusi spesies kita menghadirkan satu elemen lain, yang dikenal dengan istilah: akal budi. Lewat akal budi pulalah lantas tercipta 'aku' atau 'ego'. Binatang tak memiliki ini. 'Aku' otomatis menciptakan 'kamu', 'kita', 'mereka', 'dia'. 'Aku' menciptakan keterpisahan. Dan 'aku' jugalah yang mendambakan penyatuan. Inilah dualitas mendasar, harga yang harus dibayar untuk menjalankan kehidupan sebagai spesies bernama manusia. 'Aku' adalah sarana vital agar kita semua mampu melangsungkan hidup, tapi 'aku' juga bisa menjadi sumber segala bencana—jika kita hanyut dalam ilusi yang dihadirkannya. Hadiah evolusi ini menjadi pedang bermata ganda.
Kini, kita melihat dan menuai hasilnya. Di satu sisi, dibungkus dengan konsep cantik seperti 'asmara' atau 'gaya hidup', manusia bisa mengeruk habis isi bumi dan kecanduan sensasi indrawi. Di sisi lain, dibungkus dengan konsep adiluhung seperti 'cinta' dan 'ilahi', manusia pun bisa menjadi malaikat pelindung bagi makhluk lain, berpuasa, bahkan hidup selibat. Hewan, yang sepenuhnya dikuasai agenda genetika, tidak akan mengenal konsep berpuasa demi kesucian. Instingnya akan selalu mengatakan 'makan!' jika lapar, 'kawin!' jika musimnya kawin.
Saat mulai riset untuk novel yang saya tulis, Supernova – Partikel, saya menemukan banyak fakta menarik. Kesenjangan DNA antara simpanse dengan gorila ternyata lebih jauh tiga kali lipat dibandingkan dengan kesenjangan DNA antara simpanse dengan manusia. Yang artinya, manusia lebih mirip simpanse, ketimbang simpanse dengan gorila—yang padahal di mata kita sama-sama monyet. Konon, Carolus Linnaeus memisahkan manusia dari bangsa hewan hanya karena takut dimarahi pihak gereja. Pada kenyataannya, kita bertetangga lebih dekat dengan binatang, ketimbang antarbinatang itu sendiri. Tidakkah ini lucu?
Saya tergeli-geli ketika tahu fakta itu. Betapa dahsyatnya aparatus bernama 'aku' sehingga kita dimampukan untuk mengabaikan fakta dan lantas menyebut diri makhluk mulia. Pernahkah kita renungi, bahwa terlepas dari kemampuan manusia untuk menjadi sungguhan mulia, tapi atas nama kemuliaan, kita sering terlena dalam ilusi kolektif kita sebagai representatif agung yang ditunjuk Tuhan untuk menjadi penguasa langit dan bumi hingga tak sadar bahwa kita pun sedang membunuhnya perlahan?
Inilah yang menjadikan manusia makhluk paradoks yang luar biasa. Kita adalah arena pertempuran antara gen dan mem yang pada dasarnya hanya ingin mereplikasi diri, tapi isi agendanya tak selalu sejalan. Kita adalah konflik yang berjalan di atas dua kaki, dari mulai kita bangun pagi hingga kembali tidur.
Kembali pada obrolan saya dengan teman-teman saya. Mungkin sama seperti Anda, pada titik ini mereka pun garuk-garuk kepala, mengapa pembahasan soal iklan pemutih bisa berkembang liar menjadi urusan taksonomi, genetika, dan memetika? Saya pun berkata, bahwa gelinya saya ketika tahu segitiga DNA manusia-simpanse-gorila sama dengan gelinya saya waktu menonton iklan pemutih wajah itu. Apa yang mereka reklamekan sesungguhnya bukanlah perlombaan menuju bahagia, melainkan perlombaan genetika yang tak ada hubungannya dengan kebahagiaan, putihnya hati, atau cinta sejati. Sebaliknya, kita berpotensi besar untuk berpacu menuju ketidakbahagiaan, karena agenda genetika tak mungkin dipuaskan.
Muncullah pertanyaan kami bersama: apa gunanya tahu tentang perbudakan gen dan mem ini kalau memang tidak bisa dilawan? Saya pun kembali merenung. Mungkinkah itu dilawan? Tidakkah hal tersebut menjadi konflik baru? Mungkinkah, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyadarinya? Dan mungkin saja, dari penyadaran itu, kita lebih awas dan hati-hati dalam bertindak, dalam memilih, dalam memilah? Hingga kita bisa lebih bijak dan menahan diri untuk mengonsumsi sesuatu? Hingga pedang bermata ganda ini dapat dipakai dengan konstruktif, bukannya destruktif?
Mengetahui sesuatu tak selalu berujung pada perlawanan. Karena perlawanan tanpa kebijaksanaan akan berujung pada perang reaksioner yang sia-sia. Tak selamanya tombol primordial itu 'buruk', bagaimanapun tombol-tombol itu ada untuk pertahanan diri dan merupakan paket dari eksistensi kita. Namun tak selamanya pula tombol-tombol itu harus terus dipenuhi dan diberi reaksi. Dengan laju peradaban dan kapasitas manusia yang kini begitu luar biasa, seringkali kita memang harus lebih banyak menahan diri—bukan atas nama penyangkalan, tapi justru untuk kelangsungan kehidupan bersama, koeksistensi dengan semua makhluk, termasuk spesies kita sendiri.
Dengan demikian, kita lebih bisa memusatkan fokus dan energi kita untuk hal-hal yang esensial. Jika yang dicari putihnya hati, seberapa relevankah lagi zat seperti hydroquinone atau vitamin B3? Jika yang dicari adalah ketenangan batin, seberapa relevankah lagi papan sit-up, ikat pinggang penghancur lemak, pil pelangsing, sumpalan silikon, hidung lebih bangir, dan seterusnya? Dan seperti buta, kita justru melewatkan hal-hal yang membuat diri kita lebih tenteram dan mawas.
Sore itu, di dalam toilet saya bercermin, lalu bertanya pada diri sendiri: akankah saya bertambah bahagia jika kulit saya lebih putih, mulus tanpa cacat cela? Mungkin iya, mungkin tidak. Namun sanggupkah saya mentransendensi apa yang saya lihat di cermin, dan menyadari bahwa bahkan yang namanya kebahagiaan pun tak lekang, bahwa terbebasnya kita dari konflik—meski hanya semenit-dua menit—adalah kedamaian sejati, yang hanya bisa dilakukan bukan dengan menahan melanin atau menghapus keriput, tapi menyadari dan menerima keadaan kita apa adanya sekarang ini, fisik dan juga mental?
Saya rasa, itulah pertanyaan yang sesungguhnya. Dan saya pun tahu, pertanyaan semacam itu tak akan laku jika diiklankan. Namun saya juga yakin, pertanyaan itulah yang menggantungi setiap dari kita, spesies manusia, dan menggetok kepala kita satu hari, pada satu momen yang sempurna.

cerpen

  Lagi-Lagi Uang
    • Karen Angela

Bagi semua pengantin baru, apalagi pasangan muda, aku rasa honeymoon is a must. Sepertinya kalau bukan karena alasan yang mendesak misalnya jadwal kontrak kerja yang padat, tak sepasang pun pengantin baru ingin menunda atau bahkan melewatkan bulan madu mereka.
Aku dan Andri, suamiku, pun merasa demikian. Walaupun tidak berbudget besar, kami tetap mengupayakan terlaksananya bulan madu kami ke Singapura. Segala persiapan mulai dari membuat paspor, memesan tiket dan penginapan, memilih obyek-obyek wisata yang akan dikunjungi, hingga menyusun koper kami lakoni dengan penuh semangat sebab begitu lewat hari H, kami langsung bertolak.
Hmm... sudah kubayangkan pasti seru rasanya melancong ke tempat baru berdua saja dengan orang yang kita sayangi.
***
Pipi kiri dan kanan ini masih terasa pegal karena kebanyakan cipika cipiki saat menyalami para tamu yang hadir di perhelatan nikah kami sehari sebelumnya. Namun, girangnya hati membuat tawa canda dan senyum tak henti-hentinya lepas untuk satu sama lain saat pesawat lepas landas meninggalkan bandara Soekarno-Hatta.
Lalu, apakah benar honeymoon itu semanis madu? Seheboh persiapannya? Tak terlupakan sepanjang masa? Ah, itu omong kosong! Lho?
Sungguh, mungkin tak akan ada orang percaya. Di masa honeymoon yang kata orang enak dan berkesan, aku dan Andri bertengkar! Meski tidak sampai berteriak-teriak, ini yang paling pahit dalam hubungan kami. Andri bahkan mengutarakannya saat kami menanti pesta kembang api di River Hong Bao, yang sebelumnya kubayangkan bakal romantis sekali.
Kecewa sudah pasti. Banget, malah. Siapa sih yang ingin impiannya dirusak. Dan penyebab dari semua itu tak lain dan tak bukan adalah uang. Andri merasa 'kaget', bahkan dibuat 'ngeri' dengan pengeluaranku yang menurutnya boros. Padahal, barang-barang yang kubeli itu kebanyakan titipan ortu. Aku bahkan tak sempat membelikan oleh-oleh untuk teman-teman dan saudara-saudaraku yang lainnya.
Dari masalah boros tersebut, dia jadi sangsi mempercayakan pengelolaan uang padaku. Dia juga takut aku membelanjakan uang bersama untuk hal-hal yang menurutnya sekunder. Menurutnya, aku harus menyusun prioritas dalam berkeluarga. Menghabiskan 90.000 rupiah untuk eye shadow merek cukup ternama menurutnya hanya membuang-buang uang, sementara di pasar bisa diperoleh merek lain dengan harga jauh lebih murah. Hello?
Aku tak menampik jika suamiku memang orang yang sederhana. Dia baru mengganti barang jika sudah rusak atau menurutnya tidak layak pakai lagi. Tapi wanita mana yang tak butuh aksesoris penunjang penampilannya? Lagipula, barang-barang bermerek yang kupakai sekarang, sebagian besar diberi ortu. Aku bukan penggila merek, hanya saja terkadang baju yang jatuhnya lebih bagus itu kebetulan bermerek.
Toh, ada juga kaos-kaos milikku yang harganya tak lebih dari 20.000 rupiah per potong. Yang penting bagus dan nyaman dipakai. Kosmetik yang cukup mahal pun, aku beli dengan hasil keringat sendiri. Kecuali pembersih wajah, kebanyakan habis pakai lebih dari setahun. Sebagai salah seorang pembicara di perusahaan, aku rasa wajar bila penampilan perlu sedikit dipoles.
Sejak zamannya masih ditunjang ortu, aku telah terbiasa mandiri untuk pos-pos pengeluaran penunjang penampilan. Aku juga penganut paham yang mengatakan bahwa dengan cinta, semua bisa teratasi. Asal ada cinta, hidup susah pun jadi senang. Ah, naif sekali rasanya sekarang.
Memang logis kalau dia bilang kebutuhan menabung untuk membeli rumah, biaya pendidikan anak kelak, dan hal-hal lain menyangkut keluarga harus diprioritaskan. Tanpa disinggung olehnya pun, aku sudah tahu, mengerti, dan berniat melakukannya. Begitu dini dia memvonisku gila belanja, padahal belum sepeser pun uangnya kuhabiskan untuk berfoya-foya membeli baju, tas atau kosmetik pribadi.
Aku dan Andri sangat jarang bertengkar. Jadi wajar jika tak pernah terlintas dalam pikiranku, di masa honeymoon pun pertengkaran bisa terjadi. Serasa ada benda tajam yang menikam ulu hatiku. Aku merasa terusik oleh kata-katanya, ketidakpercayaannya. Kok tega-teganya ya, dia merusak bulan madu kami gara-gara uang. Ironisnya, kami baru saja melewati Fountain of Wealth... di Suntec City. Bahkan make a wish segala di sana.
***
Mungkin karena kekecewaan yang berlarut, aku jatuh sakit. Mataku bengkak dan perih karena terlalu banyak menangis. Parahnya lagi, badanku demam tinggi. Andri yang awalnya masih bersikap dingin jadi panik saat keesokan harinya, aku tak kunjung membaik.
Mataku merah sekali walaupun lensa kontak telah kulepas. Salahku juga tetap memakai lensa kontak di kala tidur, dan bodohnya aku lupa membawa kacamata cadangan. Di saat aku merasa sedih, sakit, dan lonely itulah, Andri begitu telaten mengurusku. Merasa berdosa kali, pikirku sinis. Dia bahkan membawaku ke rumah sakit, khawatir terjadi sesuatu pada mataku. Padahal ongkos berobat di Singapura kan mahal.
Kami pulang lebih awal dari rencana semula. Repot, sudah pasti. Plus, uang deras mengalir seperti air keran. Dari membiayai rumah sakit, membeli kacamata, mengganti jadwal tiket, semuanya butuh dana ekstra. Sekembalinya ke tanah air, aku benci sekali bila ada yang menanyakan honeymoon kami. Ada yang menyalahkan karena kami terlalu cepat berangkat, bukannya beristirahat dulu sehabis hari H. Ada juga yang menyayangkan sekaligus menghibur bahwa masih ada kesempatan di lain waktu. Aku sih tidak terlalu berharap.
Namun, tak seorangpun tahu alasan sebenarnya. Bahwa telah pertengkaran dengan uang sebagai pemicunya. Memalukan. Dan aku jadi agak pesimis dengan bahtera perkawinan kami selanjutnya.
***
Dua tahun berlalu. Terkadang, aku masih sakit hati jika teringat honeymoon perdana kami yang tidak mengenakkan. Tapi, aku memaafkan suamiku. Andri pun nampaknya sudah melupakan hal ini. Toh, aku tidak pernah seenaknya membelanjakan uang bersama. Ada skala prioritas dan penghematan juga sehingga kami selalu dapat menabung. Selain itu, Andri banyak memperbaiki sikapnya sejak aku melahirkan putri pertama kami. Mungkin trauma juga melihatku bersusah payah melahirkan dengan banyak darah.
Menurutku, dia sekarang lebih sabar dan penyayang. Walaupun tidak selalu ikut begadang karena harus bekerja esoknya pagi-pagi sekali, dia cukup perhatian dengan dukungan morilnya di tengah kelelahan fisik yang aku hadapi di bulan-bulan awal mengasuh bayi kami.
Kejadian itu juga telah mengubah pola pikirku. Wanita perlu bekerja, full-time part-time tidak masalah. Tidak bisa seratus prosen bergantung pada suami. Kendati suami tetap menafkahi, untuk kesenangan pribadi, aku lebih suka merogoh kocekku sendiri. Jadi nggak perlu setiap saat bertanya dan meminta pada suami. Kalau barang yang kita minta dikasih sih tidak masalah, tapi kalau harus berargumentasi dulu itu yang bikin malas. Biarpun akhirnya diberi juga kan, rasanya sudah tidak sama lagi.
Aku pun mulai menata kembali perasaanku. Membangun penilaian positif setelah sebelumnya ternoda oleh kenangan pahit. Mencoba mensyukuri apa yang kumiliki sekarang. Andri suami yang rajin, bertanggung jawab, dan setia. Meski tergolong ganteng, dia tidak hobi tebar pesona. Keluarga mertuaku pun welcome sekali. Belum pernah terjadi konflik mertua-menantu pasca pernikahan seperti yang sempat menghantui pikiranku. Di rumah, aku berusaha menjadi ibu rumah tangga dan istri yang baik. Di tempat kerja, aku tetap bisa profesional.
Sampai suatu ketika, Andri mempertanyakan sebuah buku anak-anak yang baru kubeli untuk Kezia, putri kecil kami. Satu buku kecil sebesar telapak tangan orang dewasa bergambar harganya 20.000 rupiah. Menurutnya itu kemahalan. Aduh! Aku jadi geram.
Aku kira wajar harganya segitu. Buku ini bukan buku biasa, melainkan terbuat dari karton tebal yang antisobek dan tahan air. Yang berukuran lebih besar, harganya lebih mahal lagi. Buntut-buntutnya, aku beli yang mini. Eh, masih kena omel juga.
"Kalau kemahalan, mbok ya dikliping sendiri saja lalu dilem di karton tebal dipotong, dijadikan buku, dan disampul!" sahutku kesal.
Bayangkan, sejak Kezia lahir, Andri hanya pernah sekali membelikan mainan murah. Sampai saat ini, mainan-mainan Kezia semuanya hibah dari sepupu-sepupu dan hadiah dari ortu. Jauh di lubuk hatiku, aku kecewa karena Andri yang notabene bapaknya tidak pernah memperhatikan hal yang satu ini.
Di lain pihak, kakek dan neneknya selalu membelikan oleh-oleh baju, mainan, bahkan susu formula dan pampers. Miris rasanya. Bukankah bapak yang hubungan darahnya lebih dekat dengan anaknya sendiri seharusnya yang lebih memperhatikan? Lebih berperan dalam tumbuh kembang anak? Memangnya anak cuma perlu dikasih makan? Dari buku-buku dan mainan-mainannya kan, anak bisa belajar banyak hal. Mengenal warna, mengenal berbagai jenis binatang. Siapa tahu malah dapat memacunya untuk lebih cepat berbicara dan bertambah pandai. Kekesalanku pun memuncak ke ubun-ubun.
"Kamu pikir, suami mencari uang untuk kesenangan pribadi? Apa gunanya aku capek-capek bekerja dari pagi sampai malam membanting tulang?" katanya berdalih saat aku mempertanyakan rasa sayangnya pada keluarga.
"Kalau begitu, kan tidak ada salahnya membelikan mainan anak yang berkualitas," sahutku.
"Aku bukannya tidak setuju kamu membelikan mobil-mobilan, lego, dan sebagainya. Hanya saja, anak kita belum cukup umur. Percuma kamu membelikannya sekarang. Nanti malah hilang atau rusak saja."
"Tapi terbukti kan, Kezia sekarang jadi lebih pintar. Dia bisa mengenali binatang-binatang yang ada di buku ini."
"Kamu kan bisa mencari yang lebih murah. Nggak harus yang kertasnya tebal anti apa katamu? Tahan air dan antisobek?"
Aku menghela napas.
"Katanya cinta, kok... gara-gara uang kita bertengkar terus. Katanya sayang, kok... untuk urusan uang kamu tidak mau mengalah. Padahal aku nggak pernah meminta sesuatu yang aneh-aneh." kataku meninggi.
Karena gemas, kutinggalkan Andri begitu saja. Belum sempat melangkah keluar pintu, aku mendengar suara kertas koran yang sedang dibaca Andri robek ditarik-tarik oleh Kezia. Wah, kebetulan sekali. Rasakan.
***
Malam itu, pikiranku mengembara. Aku merenung sendiri di tengah sunyi dan sepi yang kurasakan. Pulau-pulau sisa noda tangisan di bantalku mungkin sudah bertambah lagi. Tatkala mencoba memejamkan mata, aku merasakan kepalaku dibelai. Aih, jujur hati ini rasanya bagai diguyur air sejuk.
Setelah tiga tahun mengarungi bahtera pernikahan kami, aku pikir kendala yang ada seharusnya bukan makin memisahkan melainkan menyatukan kami dan membuat masing-masing pihak lebih mengerti satu sama lain. Memang ada kalanya sifat sulit diubah. Atas nama cinta, saat itulah pengertian kita dituntut.
Anyway, setiap hubungan cinta punya warna tersendiri. Aku pernah mendengar cerita dari seorang sobat ibuku, yang suaminya setiap hari pulang larut malam sekitar jam satu-dua dini hari untuk berkumpul dengan teman-temannya bahkan ada kalanya mabuk. Istrinya sudah kenyang menangis di tahun-tahun awal pernikahan mereka. Sekarang dia sudah dapat menerima dan easy going saja. Salut aku, di tengah keadaannya yang seperti itu dia masih tetap mencintai suaminya.
Andri jauh lebih baik dari suaminya itu. Meski ketat soal uang, masih banyak sifat-sifatnya yang positif. Dia termasuk kepala rumah tangga yang baik. Mungkin, di saat kehidupan kami sudah lebih mapan, dia bakal perlahan-lahan berubah. Satu hal lagi, aku mencoba mengingatkan diriku sendiri bahwa dia adalah jodoh terbaik dari Tuhan.
Sudahlah, memang nobody's perfect. Aku pun terlelap di tengah belaian hangat suamiku. Esok pagi, aku pasti bisa tersenyum kembali. ©

novel



CHAPTER 1:
MEMBELI RUMAH KUNO


Pesta sederhana itu berlangsung cukup meriah. Berkali-kali Pak Wibisono saling berpandangan dengan istrinya, saling tersenyum dengan manis, menandakan kebahagiaan sekaligus kepuasaan. Para tamu undangan yang datang dari jauh adalah mereka yang mulai hari ini resmi menjadi mantan tetangga. Kedatangan mereka adalah bukti bahwa Pak Wibisono sekeluarga tetap disayangi dan dihormati, bahkan mungkin disayangkan kepergiannya. Tamu yang lain adalah orang-orang sekitar yang akan menjadi tetangga baru.
Kesediaan mereka datang mengisyaratkan bahwa keluarga Wibisono diterima dengan baik di lingkungan mereka.
Di luar itu semua, yang paling membahagiakan Pak Wibisono adalah kenyataan bahwa mulai sekarang ia sudah memiliki rumah sendiri, setelah bertahun-tahun sejak menikah mereka hanya menempati rumah kontrakan.
Katanya, kesempurnaan seorang lelaki adalah apabila ia sudah memiliki sebuah rumah sendiri dari hasil jerih payahnya. Pak Wibisono bangga, biar pun untuk memiliki rumah ini, ia terpaksa harus meminjam uang kantor dan mengembalikannya dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Ia juga harus merelakan menjual sedan kesayangan dan menghabiskan hampir seluruh tabungannya.
Tapi kalau tidak begitu, kapan lagi kesempatan itu ada?
Rumah tua di pinggir kota ini tidaklah terlalu jelek.
Dengan sedikit perbaikan di sana-sini, Pak Wibisono yakin bisa menyulapnya menjadi tempat tinggal yang nyaman. Tenang karena letaknya yang di pinggiran, dan sejuk karena dekat perbukitan serta areal perkebunan kopi.
Semula Ibu Wibi kurang setuju dengan pilihan suaminya. Begitu juga dengan Miko, anak sulung mereka. Kata Miko, rumah tua ini kesannya sangat angker. Melihatnya dari luar, apalagi pada malam hari, selalu membuat bulu kuduknya berdiri. Seperti markas vampire!
Pak Wibisono selalu menertawakan anggapan putra tertuanya itu.
Kata beliau, itu akibat terlalu sering menonton film horor atau misteri di televisi. Menurut Pak Wibisono, rumah tua berarsitektur Belanda ini bisa menjadi investasi yang kelak amat berharga. Antik dan langka. Atas pertimbangan itulah Pak Wibisono bertahan dengan pilihannya. Apalagi ia tidak sendirian. Di luar dugaan, Karmila sangat antusias dengan pilihan ayahnya tersebut. Gadis manis, adik Miko yang duduk di kelas tiga SMP itu, justru selalu menyemangati ayahnya untuk segera menyelesaikan transaksi pembelian. Dua lawan dua. Dan karena ternyata rumah ini dijual dengan harga yang terbilang cukup murah, maka Ibu Wibi dan Miko terpaksa mengalah

cerpen

 Maharesi • Sang Tabib
   • Weni L. Ratana

PROLOG
Dinasti Song, Tiongkok (979 Masehi)
Kekaisaran Song Dai Zong

Agaknya moralitas merupakan hal tertinggi dalam membentuk figur seorang insan. Hal itulah yang menjadi bukti nyata tentang seorang bijak yang sudah menjadi legenda.
Adalah Bao Sheng Da Di, seorang tabib sakti yang sepenuh hidupnya diabdikan untuk menolong dan membantu rakyat jelata, serta mendedikasikan seluruh jiwa dan raganya untuk kemakmuran negara dan Sang Kaisar.
***
Terdapat dua kuil legendaris yang memasyhurkan nama Tabib Bao Sheng Da Di. Kuil-kuil tersebut adalah Kuil Qing Jiao Ci Ji di Xiamen dan Kuil Bai Jiao Ci Jing di Zhang Zhou, China. Masing-masing kuil itu juga populer sebagai Kuil Timur dan Kuil Barat. Masyarakat membangun kuil tersebut untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa Tabib Bao Sheng Da Di. Bangunan kuil yang kokoh dan megah tersebut menyimpan histori dan napak tilas seorang bijak berprofesi tabib yang hidup dan lahir pada Kekaisaran Song Dai Zong, Dinasti Song, Tiongkok pada tahun 979 Masehi lalu. Setiap tahun, perhitungan bulan lunar imlek, yang jatuh pada bulan tiga tanggal limabelas, maka kuil-kuil tersebut pasti dibanjiri para peziarah dari berbagai negara.
Tabib Bao Sheng Da Di, sesuai sosio-kultural dan kepercayaan umumnya masyarakat China, setelah meninggal pada usia limapuluh delapan tahun, maka berkat jasa-jasa baiknya selama ini, ia pun diangkat sebagai salah satu 'dewa' atau bodhisatva, dan dipuja layaknya tokoh-tokoh pebijak lainnya seperti Guan Yu—salah satu figur bijak dalam masa Tiga Kerajaan atau Sam Kok, dan Guan Im yang lebih lazim disebut Bodhisatva Avalokitesvara.
Kemasyhuran tabib bijak itu menjadi legenda, bukan saja di ranah Tiongkok, namun juga sudah meluas di berbagai negara, dimana masyarakat Tionghoa bercokol. Taiwan adalah salah satunya. Di sana, kepopuleran Tabib Bao Sheng Da Di tidak kalah masyhurnya dengan di China sendiri yang notabene merupakan tanah kelahiran tabib berhati baik itu. Pun masyarakat Taiwan mendirikan kuil serupa bernama Xue Jia Ci Ji, terletak di Kota Tai Nan.
Lantas, sesungguhnya siapa sebenarnya Bao Sheng Da Di sehingga ia dapat menjadi legenda dan demikian dipuja oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa? Inilah kisahnya!
***
Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan.
Tabib Bao Sheng Da Di sesungguhnya adalah jelata yang lahir pada penanggalan lunar imlek, bulan ketiga pada tanggal limabelas, di sebuah dusun kecil bernama Bai Jiao, Provinsi Fujian, pada saat Kaisar Song Dai Zhong memerintah di era generasi keempat Dinasti Song. Sejak balita, ia telah menunjukkan rasa welas asihnya kepada semua makhluk hidup, dan hal itu dibuktikannya dengan menjadi vegetarian—tidak makan makhluk bernyawa. Ayahnya bernama Wu Dong, dan ibunya bernama Huang Yeh Hua.
Pada suatu hari, ibunya bermimpi menelan seekor kura-kura berwarna putih. Tidak lama kemudian, ibunya hamil. Suatu ketika, pada masa hamil tuanya, ia kembali bermimpi yang merupakan runutan dari mimpi pertamanya dulu. Kali ini, ia didatangi seorang Pendeta Sakti bernama Chang Suh, yang mengaku sebagai utusan Dewa Nang Ling dan Bei Dou Xing Jun—dewa yang dipercaya masyarakat China sebagai dewa yang mengatur dan mengawasi usia manusia. Dalam mimpinya tersebut, Pendeta Sakti itu menyerahkan seorang anak kecil kepadanya.
"Anak ini merupakan titisan putra Dewa Zi Wei," demikian katanya sebelum menghilang dan lenyap dalam mimpinya tersebut.
Pada pagi hari, setelah terbangun dari mimpi, ibunda Sang Tabib berbudi luhur itu pun mendapati fenomena alam bernuansa indah dan mistis. Di atas langit, tiba-tiba tampak cakrawala dan pelangi yang berkilauan, dan semilir angin mengantar harum dan semerbak wewangian yang tak dapat ia lukiskan dengan kata-kata. Pendar indah cahaya dan wangi yang tak ia pahami maknanya itu masuk menelusup ke dalam rumahnya, dan tak lama kemudian maka lahirlah Tabib Bao Sheng Da Di, yang diberi nama kecil Wu Ben.
Wu Ben sejak kecil sudah ikut membantu ayahnya mencari nafkah dengan ikut melaut. Semasa itulah, dalam usianya yang terbilang masih sangat muda, ia berguru kepada seorang Tabib Penawar Bisa Ular. Ia belajar menangkap ular dan ilmu penawar bisa ular, meracik obat penawar bisa ular dan banyak hal lainnya tentang binatang reptil tersebut.
Tidak lama kemudian, menginjak masa remaja, ayahnya meninggal dunia karana sakit. Ibunya menyusul tidak lama setelah kematian suaminya. Wu Ben sedih dan merasa benar-benar kehilangan. Apalagi, rundungan kemiskinan secara tidak langsung telah menyebabkan ia merasa gagal dan tak mampu berbuat apa-apa untuk mempersembahkan pengobatan yang layak bagi ayah dan ibunya itu. Ia tak memiliki sepeser pun uang untuk membawa ayah maupun ibunya ke tabib.
Wu Ben yatim-piatu pun merantau keluar dari kampung halamannya. Dan sejak saat itu, ia bertekad untuk menjadi tabib handal agar dapat menolong manusia memerangi penyakit yang mendera. Pada tempat perauntauannya yang pertama di Pegunungan Kun Lun, ia bertemu dengan Xi Wang Mu, seorang cenayang sakti. Karena bersimpati pada budi pekerti dan itikad baik dari anak muda yang baru menginjak usia tujuhbelas itu, maka ia pun menurunkan ilmunya tanpa sungkan. Selama tujuh hari tujuh malam, Wu Ben mempelajari berbagai pengobatan versi Xi Wang Mu, terutama eksorsis—upacara atau ilmu tolak bala jahat, roh maupun setan.
***
Pada usia duapuluh tahun, Wu Ben mendirikan gubuk di sisi Danau Lung Qiu, di bawah kaki Gunung Qing Jao Zhi, sebelah timur bukit Ming Ling. Di sanalah ia mulai meracik obat-obatan dan mengobati secara sukarela penduduk yang datang meminta pertolongan. Saat bersamaan, ia juga menemukan resep-resep pengobatan tradisional dan mutakhir dari setiap perjalanannya menyusuri dusun maupun desa penduduk sekitar yang meminta bantuan pengobatannya. Ia sangat mendedikasikan hidupnya dalam bidang medika dan pengobatan. Ia mengobati tanpa pamrih. Tak peduli dari kalangan mana. Terpandang atau marjinal. Kehandalan pengobatannya yang nyaris purna dan niat baiknya dalam menolong sesama dibicarakan serta dipuji oleh orang-orang. Dan sejak itu pulalah ia dijuluki 'Tabib Sakti'.
Pada suatu hari, Wu Ben masuk ke dalam hutan berniat mencari ramuan-ramuan untuk obatnya. Ketika ia sampai di kedalaman hutan, alangkah terkejutnya ia karena seekor harimau belang tampak mementang jalannya. Harimau tersebut tampak lunglai, dan menelungkup lemah dengan pandangan mata sayu. Rupanya, sang harimau itu tersedak sebilah tulang manusia dari korban mangsanya barusan.
Wu Ben murka luar biasa. Dengan wajah gusar dimarahinya harimau belang tersebut. "Kau telah merenggut nyawa manusia, maka kau menerima balasan dan karma. Saat ini kau tengah mendapat hukuman setimpal dari Yang Maha Kuasa!"
(Alkisah Wu Ben dapat berkomunikasi dengan binatang karena buah hasil dari sifat welas asihnya, dan juga merupakan titisan putra Dewa Zi Wei).
Sang Harimau Belang tersebut sangat menyesali perbuatannya. Ia menyampaikan pertobatannya kepada Wu Ben, dan berjanji akan menjadi abdi bagi 'Tabib Sakti' itu jika kelak ia lolos dari ambang maut. Wu Ben yang welas asih itu menolong sang harimau, mengobati lukanya sampai sembuh. Maka sejak saat itulah, Sang Harimau Belang tersebut menjadi 'kuda tunggang' bagi Wu Ben. Sejak saat itu pula, maka sang harimau meraga dengan Wu Ben. Ia menyertai perjalanan 'Tabib Sakti', menjadi kendaraan tunggang dan membawa Wu Ben kemana saja. (Dalam mitologi China, dikisahkan bahwa sang harimau telah mencapai pencerahan sempurna karena jasa-jasa baiknya terhadap Wu Ben selama ini, dan mendapat tempat layak sejajar dedewa dan dedewi. Sang harimau dijuluki Jenderal Harimau Hitam, dan pada perjalanan waktu, sang harimau pun memiliki rupam atau diorama yang disucikan oleh umat penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berdiri di samping rupam Tabib Bao Sheng Da Di di atas altar puja).
***
Pada pemerintahan Kaisar Song Jiong You, generasi penerus Dinasti Song, pada tahun 1036, suatu ketika, daerah Ming Nan, Fujian Selatan, terutama area Zhang Zhou, terjadi wabah penyakit yang telah memakan ratusan korban nyawa manusia. Penyakit tersebut berasal dari limbah udara beracun. Maka atas inisiatifnya sendiri, maka Wu Ben naik ke atas pegunungan mencari rempah dan tumbuhan obat untuk membuat ramuan obat buat menolong penduduk yang tertimpa penyakit. Di gigir tebing Long Chi, Gunung Wen Pu, Wu Ben yang tengah asyik mencari tanaman obat tergelincir dan jatuh ke dalam jurang. Meskipun mendapat pertolongan dari penduduk setempat, namun nyawa Wu Ben tak dapat diselamatkan. Luka parah akibat jatuh dari ketinggian menyebabkan Wu Ben meninggal tidak lama kemudian tepat pada penanggalan lunar imlek yang jatuh pada bulan kelima tanggal dua siang hari.
Tidak lama setelah mangkatnya Wu Ben, masyarakat setempat menobatkan ia sebagai 'Yu Ling Zhen Ren' yang berharfiah 'Tabib Sakti nan Mukjizat'.
Seiring bergulirnya zaman, kemasyhuran Wu Ben sebagai 'Tabib Sakti' tak lekang dimakan waktu. Pada zaman Nan Song atau kekaisaran Dinasti Song (1151), Kaisar Shao Xing yang berkuasa ketika itu, memberikan maklumat izin pembangunan kuil megah dari permohonon seorang sarjana medika bernama Yan She Luh. Dengan senang hati Sang Kaisar memberikan keleluasaan pada pemuda itu untuk mendirikan kuil penghormatan bagi Wu Ben, yang kala itu sudah dikenal galib sebagai Tabib Bao Sheng Da Di, di tanah temurun keluarganya sendiri, di daeran Qing Jiao.
Lalu pada tahun 1171, masih pada dinasti yang sama, Kaisar Song dari generasi ketujuh, Song Xiao Zong mempersembahkan penghormatan setinggi-tingginya untuk 'Tabib Sakti' dengan membuatkan prasasti kayu yang diletakkan di atas gerbang sebuah kuil bernama Ci Ji. Selain itu, mendiang Wu Ben pun diberi gelar 'Da Dao Zhen Ren' berharfiah 'Tabib Sakti yang Berilmu Tinggi'.
Pada Dinasti Ming, berulang kali mendiang Wu Ben mendapat penghargaan dari pemerintah maupun Sang Kaisar. Di zaman itulah 'Tabib Sakti' mendapat gelar terpanjang dalam sejarah pemerintahan manapun dari dinasti yang berkuasa di Tiongkok: 'Tian Yu Ling Miao Hui Zhen Jun Wan Shou Wu Ji Bao Sheng Da Di' berharfiah 'Utusan Suci Tabib Rakyat dari Yang Maha Kuasa, Berhati Welas Asih dan Penolong Jelata yang Handal—Hidup Lestarilah, Dewa Bao Sheng Da Di.'
Zaman berubah dari waktu ke waktu. Namun kemasyhuran Wu Ben lagi-lagi tak dilamur oleh masa. Pada zaman Dinasti Qing, dikisahkan, meski raganya telah lama meninggalkan dunia fana ini, namun arwah 'Tabib Sakti' masih tetap menolong rakyat yang didera bencana penyakit. Ketika itu di Taipei, Taiwan, mewabah penyakit aneh yang berpandemi cepat dan mematikan demikian banyak orang. Maka segelintir orang di Taipei yang peduli akan nasib naas saudara mereka, segera berangkat ke Fujian, China. Di sana mereka meminta doa pada rupam Tabib Bao Sheng Da Di di Kuil Ci Ji Bai untuk membasmi wabah penyakit tersebut. Tidak lama kemudian, berangsur wabah penyakit aneh tersebut menghilang, dan masyarakat Taiwan dapat hidup dengan tenteram kembali. Sejak saat itu pula nama dan kesaktian Tabib Bao Zheng Da Di semakin melegenda. Kemashyuran dan ketenarannya menyeruak wangi serupa harum dupa sampai ke pelosok-pelosok pecinan.
Sampai saat ini masyarakat di China masih menyimpan tigabelas kitab pengobatan karangan Tabib Bao Sheng Da Di. Tersimpan di dalam keabadian hati yang tulus tanpa pamrih. ©
  Samsara
    • Dewi Lestari

Nama penyu itu Endang. Saya beri nama demikian karena saya belum sempat tahu Endang itu jantan atau betina, dan nama "Endang" cukup fleksibel mewakili keduanya. Endang dengan 'e' taling untuk perempuan, dan Endang versi 'e' pepet untuk laki-laki.
Pertemuan saya dengan Endang terjadi tanpa rencana. Saat saya ke Manado beberapa waktu lalu untuk talk show bersama seorang biksu perempuan, Ayya Santini, saya diberi tahu bahwa panitia ingin mengadakan fang shen (mudita citta, pelepasan makhluk hidup) sesudah makan siang, dan saya diajak ikut. Biasanya saya lebih memilih beristirahat, apalagi perjalanan ke Manado ini dimulai sejak subuh berhubung naik pesawat paling pagi. Tapi saya belum pernah ikut fang shen sebelumnya, dan saya memutuskan ikut demi pengalaman baru.
Fang shen adalah salah satu puja bakti dalam tradisi agama Buddha, yakni melepaskan makhluk hidup kembali ke alam bebas. Mereka yang ingin melakukan fang shen dapat membeli ikan, atau burung, atau apa saja, yang barangkali sudah di penghujung maut karena akan dijagal, lalu melepaskan mereka kembali ke habitatnya. Fang shen dipercaya dapat membuahkan umur panjang, kebahagiaan, dan seterusnya.
***
Terlepas dari umur saya bertambah atau tidak, saya merasa fang shen adalah tradisi yang luar biasa. Burung yang memiliki angkasa tak berbatas sebagai rumahnya mendadak disekap dalam kurungan, hanya karena kita ingin menjamin kicauan merdunya terdengar oleh kuping setiap hari, tak peduli kicauan itu ungkapan kebahagiaan atau frustrasi. Ikan yang memiliki aliran air luas sebagai rumahnya mendadak harus mengitari kurungan kaca akuarium, hanya karena kita ingin menikmati keindahan wujudnya. Belum lagi ikan lele yang kemungkinan besar dihantam di kepala lalu berakhir di penggorengan. Melalui fang shen, kita mengembangkan kasih sayang dan rasa hormat bagi semua makhluk. Keluar dari kerangka pikir manusia pemangsa, lalu dengan sadar mengembalikan hak hidup makhluk-makhluk yang selama ini kita sekap dan kita jagal.
Waktu saya dan biksuni (biksu perempuan) Ayya tiba di pelabuhan, Endang dan satu penyu kecil lain (saya beri nama Endang Jr.) sudah menunggu dalam perahu motor. Keduanya beringsut saling mendekat seperti mencari rasa aman. Kondisi Endang tidak terlalu baik. Kaki depan Endang sobek besar hingga tampak tulangnya mencuat keluar. Lantai perahu bernoda merah di sana-sini karena darah dari luka Endang.
Salah satu petugas perahu berkata, "Tidak apa-apa. Penyu itu binatang kuat. Kepalanya putus saja masih bisa hidup. Baru setelah dimasak, dia benar-benar mati."
Saya lantas membayangkan, jika tangan saya terluka menganga hingga tulang harus berhadapan dengan udara, seperti apa sakit dan ngilunya? Bagaimana kita bisa mengukur rasa sakit Endang, hanya karena penyu tidak memiliki area broca di otaknya dan tidak berkata-kata? Sementara penyu adalah hewan yang memiliki sistem limbik sempurna, yang memungkinkan ia merasakan sakit, nyeri, ketakutan, sama seperti kita.
Namun Endang dengan tulang terpampang memang bernasib lebih baik, karena teman-temannya yang tertangkap akan dibedah hidup-hidup. Dalam posisi terbalik, tempurung mereka disayat, dan daging mereka dipotong-potong di tempat, untuk lalu dijual dan dijadikan sup. Orang Manado bilang, daging penyu lembut. Namun daging itu aneh, bergerak terus, sekalipun sudah dipotong-potong, dan baru diam setelah matang dimasak.
Baru setahun terakhir ini larangan memperdagangkan penyu diperketat dan daging penyu mulai menghilang dari pasar. Sesekali ada nelayan nekat yang tetap mencuri kesempatan dan menjualnya sembunyi-sembunyi. Endang dan Endang Jr. ditebus dengan harga 500 ribu. Harga yang termasuk murah, karena biasanya tiga penyu bisa kena satu juta.
Sekitar tiga puluh menit kami melaju ke arah Bunaken. Setelah menemukan satu tempat yang dirasa cukup aman dan sepi untuk melepas duo Endang ini, perahu pun berhenti dan biksuni Ayya mulai membacakan paritta – rangkuman doa dalam agama Buddha.
Saya diam dan memejamkan mata. Berharap air laut dan waktu akan menyembuhkan luka Endang. Berharap Endang Jr. bisa tahu rasanya menjadi dewasa, mati secara alamiah di alam bebas, dan bukan dalam mangkok sup. Berharap kita semua akan menemukan jalan untuk hidup beriringan dengan makhluk lain tanpa perlu menyekap dan memangsa. Kita menangkap Endang dan kawan-kawannya bukan karena mereka ancaman bagi nyawa kita, tapi karena sebagian dari kita ingin memuaskan lidah dan kita punya cukup uang untuk menyajikannya di meja makan, dan untuk itu sebagian dari kita yang butuh uang rela menangkap Endang dan kawan-kawan, membunuhnya dengan keji. Bukan karena Endang menyerang atau mendendam, tapi karena Endang gurih. Berharap kita semua akan menemukan jalan untuk mengenyangkan perut dengan kekerasan minimal, agar perdamaian dunia yang kita dambakan tidak cuma slogan. Bagi kita, Endang hanyalah satu makan siang, tapi bagi Endang itu masalah hidup dan mati.
Dalam diam dan mata masih terpejam, saya teringat cerita petugas tadi. Katanya, penyu-penyu melelehkan airmata saat mereka dicacah hidup-hidup. Endang ternyata bisa menangis. Saya bahkan tak tahu itu.
Saat biksuni Ayya usai membacakan paritta, mata saya membuka. Basah. Sore itu, memang bukan Endang yang perlu menangis. Ia dan teman kecilnya cuma perlu berenang lagi. ©
  Pacarku Ada Lima
    • Dewi Lestari

Merayap pelan di Jalan Katamso, Jakarta, saat jam bubar sekolah merupakan pelatihan observasi yang baik. Seolah mengamati dunia dalam mikroskop, kecepatan lambat memungkinkan kita menangkap dengan detail jalanan yang berlubang, trotoar yang hancur, angkot yang mengulur waktu untuk menelan penumpang sebanyak-banyaknya, pedagang kaki lima yang bersesak memepet jalan aspal, dan manusia... lautan manusia.
Di balik kerumunan atap rumah, menyembul matahari yang membola sempurna. Oranye. Mata saya seketika melengak ke atas, sejenak meninggalkan pemandangan Jalan Katamso yang menguji kesabaran mental. Langit berwarna-warni khas senja. Campur aduk antara kelabu, biru, ungu, merah jambu, jingga. Seketika saya bersua dengan sebuah rasa tak bernama. Kemurnian, barangkali deskripsi paling mendekati.
Banyak hal yang membuat kita jatuh cinta pada hidup. Berkali-kali. Tak akan terukur dan tertakar akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir, seolah tak berakhir. Sesuatu dalam mortalitas ini mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi. Sesuatu dalam dunia materi, jasad, partikel, mengundang jiwa kita menjemput tubuh untuk ditumpangi dan kembali mengalami.
***
Dalam keadaan mabuk asmara, kita akan merasa lahir untuk seseorang yang kita cinta. Dalam keadaan terinspirasi, kita merasa lahir untuk berkarya dan mencipta. Seorang ibu, dalam puncak kebahagiaannya, akan merasa lahir untuk melahirkan buah hatinya. Untuk beragam alasan, kita jatuh hati pada hidup dan kehidupan. Cinta yang barangkali juga datang dan pergi sesuai dengan situasi yang terus berganti.
Langit senja di jalanan macet ini menggerakkan saya untuk menelusuri cinta yang nyaris tak terganti, yang meski hidup sedang busuk dan menyebalkan, saya tahu kemurnian ini selalu menyertai jiwa saya. Untuk hal-hal inilah jiwa saya tergoda untuk kembali, dan kembali. Atau, minimal, hal-hal ini menjadi jaminan penghiburan jiwa saya selagi menjalani berbagai peran dan ragam drama yang harus dimainkan dalam hidup. Dan inilah daftar tersebut, dalam susunan acak:
Langit senja. Tertawa. Minum air putih. Suara hujan. Bergandengan tangan.
Dalam kelima hal itu, ada kemurnian yang selalu menjemput jiwa saya untuk sejenak bersuaka. Riak dan gelombang boleh turun dan pasang, pasangan saya boleh berganti, sehat-sakit-susah-senang boleh bergilir ambil posisi, tapi ada keindahan yang bergeming saat saya masih diizinkan untuk menatap langit senja, untuk tertawa lepas, untuk mengalirkan air putih segar lewat tenggorokan, untuk mendengar derai hujan yang beradu dengan bumi, untuk merasakan hangat kulit manusia lain lewat genggaman. Sederhana memang, sama halnya dengan semua penelusuran pelik yang biasanya berakhir pada penjelasan sederhana.
Sungguh saya tergoda berkata, kelima hal itu adalah kekasih saya sesungguhnya. Pacar-pacar gelap tapi tetap, yang dicumbu jiwa saya saat menjalin kasih dengan dunia materi dan sensasi ini. Bahkan kemacetan bubar sekolah di Jalan Katamso yang sempit tak mampu membendung cinta ini. ©

Dewi Lestari Simangunsong | Lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Sebelum Supernova keluar, tak banyak orang yang tahu kalau penulis yang akrab disapa Dee ini telah sering menulis. Tulisannya pernah dimuat di beberapa media. Salah satu cerpennya berjudul 'Sikat Gigi' pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter, sebuah media berbasis budaya yang independen dan berskala kecil untuk kalangan sendiri. Tahun 1993, ia mengirim tulisan berjudul 'Ekspresi' ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis dimana ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul 'Rico the Coro' yang dimuat di majalah Mode. Bahkan ketika masih menjadi siswa SMA 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah.
Novel pertamanya yang sensasional, Supernova Satu: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, dirilis 16 Februari 2001. Novel yang laku 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar ini banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta. Bulan Maret 2002, Dee meluncurkan 'Supernova Satu' edisi Inggris untuk menembus pasar internasional dengan menggaet Harry Aveling (60), ahlinya dalam urusan menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris.
Supernova pernah masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books. Bersaing bersama para sastrawan kenamaan seperti Goenawan Muhammad, Danarto lewat karya Setangkai Melati di Sayap Jibril, Dorothea Rosa Herliany karya Kill The Radio, Sutardji Calzoum Bachri karya Hujan Menulis Ayam dan Hamsad Rangkuti karya Sampah Bulan Desember.
Sukses dengan novel pertamanya, Dee meluncurkan novel keduanya, Supernova Dua berjudul 'Akar' pada 16 Oktober 2002. Lama tak terdengar, akhirnya Januari 2005 Dee merilis novel ketiganya, Supernova episode PETIR. Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Hanya saja, ia memasukkan 4 tokoh baru dalam PETIR. Salah satunya adalah Elektra, tokoh sentral yang ada di novel tersebut. Dan pada medio Juni 2007, ia menerbitkan antologi cerpennya yang berjudul 'Filosofi Kopi' yang tak kalah suksesnya dengan novel-novel terdahulunya.

cerpen

  30 Years, It's Just Too Early
    • Sara Nindya

"Diperkirakan 30 tahun dari sekarang, bumi dikhawatirkan akan mengalami kehancuran."
Begitulah kutipan kalimat dalam sebuah artikel suratkabar yang dibaca Kania. Ditutupnya koran yang ia pegang kemudian ia mengkalkulasikan umurnya saat ini dengan perkiraan waktu bumi akan hancur.
"Berarti waktu aku umur 47 tahun dong! Haaaaaaaaahhh?!" jerit Kania histeris, membuat Bunda yang melintas di depannya terkejut melihat putrinya menjerit heboh.
"Ada apa, Ka?" tanya Bunda bingung.
Kania teringat langkah pencegahan global warming dari artikel yang baru dibacanya. "Mulai besok aku mau ke sekolah naik sepeda aja, Bun," kata Kania.
"Kan sepedanya dibawa Mas Bima ke Bandung," timpal Bunda.
"Bukan sepeda motor, Bun. Tapi sepeda pancal yang udah lama nggak pernah dipake itu," terang Kania.
"Hah?" Bunda terkejut dengan penjelasan Kania yang terdengar agak nyeleneh itu. "Sekolahmu kan lumayan jauh, Ka. Apa nanti kamu nggak terlambat datangnya?" tanya Bunda, masih tidak mengerti maksud di balik rencana putrinya itu.
"Aku kan bisa berangkat lebih pagi, sekalian olahraga, Bun. Lagipula, aku pernah baca di koran, Pemkot aja udah mencanangkan Bike to Work. Kenapa aku nggak Bike to School? Demi kelangsungan bumi kita tercinta, Bunda." Kania mengakhiri perkataannya sambil tersenyum, Bunda pun dibuat amazed akan jawaban Kania. Beliau kagum putrinya concern juga masalah kondisi bumi yang semakin gawat ini.
***
Esoknya di sekolah.
Kania sudah menjadi pusat perhatian sejak ia mulai mengayuh sepedanya melewati pintu gerbang sekolahnya, bahkan satpam penjaga gerbang saja sampai tercengang.
"Kania?" sebuah suara menyapa Kania yang sedang mengunci sepeda pancalnya di tempat parkir motor.
"Hai, Lintang," sapa Kania, degup jantungnya mendadak semakin cepat. Diam-diam ia naksir sang Ketua Kelas di hadapannya ini.
"Kamu naik sepeda ke sekolah?" tanya Lintang sambil melirik sepeda yang masih tampak mulus di samping Kania.
Kania mengangguk. "Aku nggak mau mati muda soalnya," jawab Kania sambil berlalu, meninggalkan Lintang yang masih belum menangkap maksud jawaban Kania.
Lintang pun mengejar Kania yang melenggang masuk ke dalam sekolah. "Maksud kamu? Kamu nggak sedang mengidap penyakit parah, kan?" tanya Lintang setengah khawatir.
"Nggak kok, Lintang. Ini cuma supaya bumi kita nggak cepat hancur, aku baca di koran prediksinya 30 tahun dari sekarang. Masih banyak yang mau aku lakukan, masih pengen keliling dunia. Duh, pokoknya mati umur 47 masih terlalu muda!" Kania berseru histeris.
Lintang pun dibuat terdiam akan jawaban Kania yang polos itu. Selama ini ia tidak pernah notice hal-hal tentang global warming meski media juga tengah gencar menyiarkan. Tapi, penjelesan sederhana dari cewek yang selama ini ia kagumi ini ternyata mampu menyadarkannya tentang seberapa gawat keadaan bumi sekarang.
30 tahun? Gue juga masih pengen hidup di umur 47, batin Lintang.
"Ka, kamu kan Ketua Osis. Kenapa nggak bikin program aja buat menyelamatkan bumi? Kalau nggak salah kan Pemkot bikin Bike to Work, kita bikin aja Bike to School." Lintang mengusulkan.
Gosh, Lintang. Kenapa kita bisa berpikiran sama sih? batin Kania.
"Boleh. I've been thinking about that actually. Makasih ya usulnya," kata Kania sambil tersenyum manis. Membuat jantung Lintang berdebar kencang saat melihatnya.
"Ka, aku denger kamu naik sepeda ke sekolah," todong Bonie, salah satu sahabat Kania.
Bel istirahat berdering, para siswa SMA Perwira Nasional berhamburan menuju kantin sekolah yang mungil tapi punya tempat makan favorit siswa yang nyaman karena outdoor di area taman. Tidak terkecuali Kania dan ketiga sahabatnya.
"Iya, emang kenapa?" tanya Kania sambil menyeruput es jeruk nipis kesukaannya kala matahari sedang terik-teriknya seperti sekarang.
"Apa kata anak-anak entar, Ka. Masa Ketua Osis naik sepeda? Emang bokap udah nggak mau nganter lagi?" tanya Prita yang selalu mementingkan image di depan orang lain.
"Kalo gue sih cuek aja, Ka. Bodo amat apa kata orang! Di Jakarta, orang yang nekat kayak elo jarang banget. Terusin aja, Ka. Besok gue juga naik sepeda deh ke sekolah." Berbeda dengan pendapat kedua temannya yang lain, Hera yang asli Jakarta malah mendukung Kania.
Kania pun menceritakan tentang artikel yang dibacanya kemarin. "Kalian nggak harus ngikutin caraku kok, kalian boleh ke sekolah naik apa aja sesuka kalian. Tapi usahain jangan bikin polusi semakin meningkat," lanjut Kania.
"Oh gitu ya, Ka. Kemarin aku juga baca artikel kayak gitu juga sih. Ngeri emang ngebayangin kalo bumi kita hancur dalam waktu dekat," sahut Bonie.
"Berarti kita mati muda dong?! NO...!" seru Prita heboh. "Aku kan masih pengen jadi bintang film di Hollywood. Kalo 30 tahun lagi bumi udah hancur, aku nggak bisa ke Hollywood dong!"
"Ya udah, besok lu berangkat ke sekolah naik bemo aja, Prit," kata Hera asal, membuahkan tawa yang mendengarnya. Naik angkutan umum adalah hal yang paling nggak mungkin Prita lakukan. Pikiran-pikiran parno mengenai bemo pun langsung menyergapnya. Prita pun memandang Kania, minta pertolongan.
"Kalo nggak mau naik bemo ya naik sepeda aja, Prit," usul Kania yang malah membuahkan tawa yang semakin keras dari teman-temannya. Membayangkan Prita mengayuh sepeda bakal sama seperti membayangkan betapa lucunya seorang putri manja yang naik sepeda pancal ke sekolah.
"Atau kamu bisa bareng sama aku ke sekolah, Prit. Emang sih mobilku nggak senyaman Mercedez-mu. Apalagi aku barengan sama dua adikku yang masih SD, tapi masih ada tempat kosong kalau kamu mau nebeng. Gimana?" Bonie memberi usul yang kali ini masih agak masuk akal.
"Iya, Prit. Rumah kalian kan sekomplek, barengan aja kan lebih efisien," timpal Kania.
Prita pun mengiyakan. "Ini semua demi mimpiku ke Hollywood," kata Prita menerawang. Kania, Bonie dan Hera pun tertawa terbahak melihat tingkah temannya ini.
***
Esok paginya di sekolah.
Ketika sedang antri untuk memarkirkan sepedanya, Kania dibarengi seorang cowok yang juga naik sepeda pancal ke sekolah. Saat menoleh ke samping, ternyata cowok itu adalah Lintang.
"Lintang? Kamu...." tanya Kania takjub, tak menyangka Lintang yang tampak berwibawa ini akan mengikuti jejaknya.
"Aku juga nggak mau mati muda. Still have lots of things to do," jawab Lintang sembari tersenyum.
Kania dan Lintang pun memarkirkan sepedanya bersebelahan, hal itu tanpa mereka sadari menarik perhatian Hera yang tengah melintas usai memarkirkan sepedanya tepat di depan mereka.
"Duh, romatis bener! Sepedanya sampe diparkir sebelahan gitu," goda Hera sambil melenggang pergi.
Kania pun jadi blushing mendengarnya, ia lihat Lintang juga tampak bingung menyembunyikan wajahnya yang merona.
30 years is just too early for God's sake! ©

Sara Nindya | Berdomisili di Surabaya, Jawa Timur, penulis yang terbilang sangat belia ini telah mampu menghasilkan karya monumental bertema 'Go Green'. Dua karyanya, 30 Years, It's Just Too Early dan Love for Mother Earth mampu mewakili suara dunia dalam masalah krisis pemanasan global atau Global Warming. Tema yang diusungnya sangat berkarakter, hidup, dan penuh permenungan yang dirangkai dalam alur sederhana dan natural remaja. Penulis berparas ayu yang kerap memakai nama Sara Rocks ini memiliki hobi membaca novel sedari kecil. Dan selayaknya remaja putri lainnya, ia gemar mendengarkan musik, JJS, menonton film, dan browsing internet serta aktif sebagai salah satu member Friendster.com. Ia kini tercatat sebagai salah satu anggota CafeNovel Sastra Populer di Friendster.com.
 
Love for Mother Earth
    • Sara Nindya

Sudah seminggu ini SMA Perwira Nasional mengadakan aksi hijau di lingkungan sekolah. Banyak juga yang mendukung, namun yang tampak cuek dan ogah-ogahan juga tidak kalah jumlahnya.
"Kurang kerjaan." Iitulah pendapat yang keluar dari mulut Wira, ia termasuk ke kelompok yang terkesan tidak peduli dengan aksi go green di sekolahnya.
Ketika jam istirahat dimulai, Litha memilih berkeliling mengingatkan teman-temannya untuk membuang bungkus makanan mereka ke tempat sampah yang sudah disediakan. Ia bahkan menjelaskan untuk membuang sampah ke tong sesuai jenis sampahnya.
Wira sedang asyik mengunyah kripik kentangnya ketika melihat Litha sibuk wira-wiri mengingatkan orang-orang.
"Kenapa sih dia? Sok peduli banget!" cibir Wira di hadapan teman-teman segengnya.
"Tau tuh! Katanya, dia yang ngusulin aksi hijau di sekolah kita," sahut Nando, teman Wira yang juga apatis akan aksi cinta bumi di SMA Perwira Nasional ini.
"Oh ya?" tanya Wira sambil memandang sosok di seberangnya dengan sinis.
"Gue denger dia jomblo lho, Wir. Aneh ya? Padahal Litha cantik banget, kan?" sahut Nando, yang kedengaran nggak nyambung.
"Maksud lo apa nih, Nan?" tanya Wira kesal. Ia merasa tersindir, karena sudah hampir lulus SMA masih belum juga mendapatkan seseorang yang spesial di hatinya. Seseorang yang nggak cuma cantik fisiknya tapi juga cantik hatinya. Padahal dia sudah dikenal sebagai cowok yang paling banyak fansnya, sayangnya dari fans yang berjibun itu dia belum juga menemukan yang dicarinya. Cewek-cewek yang mengejarnya kebanyakan hanya tertarik dengan harta dan tampilan fisiknya saja. Ia ingin seseorang yang tidak melihat itu semua dari dirinya, ia ingin seseorang yang bisa membuatnya lebih baik.
Wira nggak pernah mengutarakan kriteria cewek idamannya ini ke siapapun, termasuk Nando sahabatnya sejak kelas satu. Somehow, ia merasa sulit mendapatkan cewek dengan kriteria itu dengan reputasinya sekarang—tukang bikin onar, sering skip pelajaran, hobi nongkrong di kantin, dan selalu skeptis terhadap semua kegiatan sekolah. Sehingga ia memutuskan untuk menyimpan impiannya itu rapat-rapat, entah kapan harus dibuka. Mungkin bila sudah menemukan yang tepat.
Tanpa terasa bel masuk berbunyi. Wira dan teman-temannya memutuskan untuk kembali ke kelas.
"Yuk ah, balik. Pelajarannya Pak Rahmat nih. Gue nggak mau kena skorsing lagi," ajak Wira pada Nando sambil meninggalkan bungkusan bekas kripik kentang dan kaleng Cola-nya di atas meja kantin.
Ketika berbalik, ada yang menepuk bahunya dari belakang. Refleks ia berbalik kembali dan menemukan sosok yang membuat mood-nya nggak enak akhir-akhir ini.
"Kalo udah selesai makan dan minum, bungkus plastik sama kalengnya tolong dibuang ke tong sampah ya," ujar Litha ramah sembari menyodorkan bungkus kripik kentang dan kaleng Cola yang tadi ditinggalkan begitu saja oleh Wira.
Merasa disulut amarahnya, Wira mengambil bungkus plastik dan kaleng di tangan Litha dengan kasar lalu membuangnya ke tong sampah di dekat kantin.
"Puas?" kata Wira jutek sambil menatap Litha penuh amarah. Berikutnya ia pergi menyusul teman-teman segengnya yang sudah lebih dulu masuk ke kelas.
Litha memiringkan kepalanya tidak mengerti. She's wondering, apa yang sudah diperbuatnya sampai membuat Wira sedemikian marah kepadanya. Seingatnya, Wira memang terkenal sebagai tukang pembuat onar meski anehnya teman-teman ceweknya banyak yang ngefans gara-gara tampang Wira yang good looking. Namun, dia dan Wira tidak pernah bermasalah sebelumnya.
Sang mentari perlahan beranjak ke sisi lain bumi, membuat pemandangan menjadi bersemu jingga dan meninggalkan kesan hangat. Usai main squash bersama ayahnya, Wira yang sedang menikmati segarnya jus jeruk dingin dari kulkas menyambar majalah Bunda yang tergeletak di ruang tengah, majalah yang memuat tentang pola hidup sehat, penyakit populer, info-info kesehatan sampai kondisi bumi saat ini. Entah kenapa Wira tertarik untuk membaca sebuah artikel mengenai Global Warming. Judul artikel itu "Bumi sedang Koma", Wira penasaran mengenai isinya. Menurutnya, mana ada benda mati yang bisa mengalami koma. Jadi ia memutuskan untuk mencari tahu sendiri apa yang dimaksud penulis dengan mencantumkan judul yang tidak rasional menurutnya itu.
***
Sementara itu, sore-sore begini sudah menjadi hobi Litha untuk menyirami tanaman-tanaman kesayangannya di belakang rumahnya. Kebetulan ibunya juga hobi merawat tanaman, terutama bunga Anggrek. Sehingga terkadang Litha pun berkebun berdua bersama ibunya, seperti sore hari ini.
Sambil menyirami pot-pot euphorbia, Litha bercerita tentang kejadian di sekolah hari ini. Mengenai temannya yang diperingatkan untuk membuang sampah malah marah-marah dan membuatnya sedikit ketakutan karena tatapan matanya yang tajam.
"Apa kamu yakin nggak pernah membuat temen kamu itu marah sebelumnya?" tanya Ibu sambil menyemprot air ke koleksi Anggreknya yang digantung-gantung di bawah net khusus green house.
"Duh, Ibu. Aku selalu berusaha menghindari konflik dari dia. Dia itu terkenal bad boy di sekolah, Ibu kan tahu aku paling benci bikin masalah. Sebisa mungkin aku menghidari masalah," terang Litha.
"Iya, Ibu ngerti. Tapi usul kamu tentang program go green itu, apa semua setuju? Kamu yakin tidak ada yang merasa kontra dengan usul kamu itu, Lit? Biasanya, setelah sebuah pendapat muncul, pro dan kontra pasti akan mengikuti berikutnya."
Litha pun seperti tersadarkan, selama ini ia mengira usulnya untuk mencanangkan program go green di sekolah bakal mulus-mulus saja. Apalagi ia mendapat persetujuan langsung dari Kepala Sekolah, tanpa mengajukan proposal lewat OSIS terlebih dahulu. Ia menganggap, ini kan program untuk kebaikan, bukan program hura-hura yang cuma menghabiskan duit, pasti banyak yang mendukungnya. Ibu seolah baru saja menunjukkan bahwa beberapa pihak, sekecil apapun jumlahnya, pasti ada yang kontra.
"Tapi... Wira kan paling cuek sama kegiatan sekolah," gumam Litha sambil menerawang.
"Namanya Wira? Cowok ya, Lit?" tanya Ibu dengan raut excited. Litha mengangguk menjawab pertanyaan ibu.
"Mungkin dia naksir kamu, Lit. Cowok kan suka usil kalo lagi naksir cewek," goda Ibu yang langsung membuat pipi Litha bersemu kemerahan.
***
Esoknya di sekolah, Sang Ketua OSIS, Fahri, tengah sibuk menata pot tanaman yang kini menghiasi teras depan ruang OSIS. Litha yang sedang melintas pun tertarik untuk menikmati pemandangan baru di sekolahnya ini.
"Wah, pemandangan di sini jadi segar nih!" ujar Litha sambil membantu memindahkan pot-pot kecil berisi bunga.
"Iya, saya juga meletakkannya hampir di teras semua ruangan. Masih baru sebagian sih, sisanya datang nanti siang. Kamu mau membantu?" Fahri membetulkan letak kacamatanya yang agak melorot usai membungkuk menata pot-pot tadi.
"Ya, tentu saja!" ujar Litha bersemangat. Ini kesempatan bisa memandang sang Ketua OSIS dari dekat, diam-diam dia naksir teman sekelasnya ini.
Wira yang baru saja datang, melintas di depan ruang OSIS, di mana Fahri dan Litha sibuk membawa pot-pot tanaman ke depan ruang guru yang ada di sebelah ruang OSIS.
Tak sengaja lengan Wira menyenggol bahu Litha sampai pot bunga yang ada di tangannya terjatuh dan pecah.
"Oops... sori." Spontan Wira minta maaf.
Begitu mendapati Wira yang berdiri di sebelahnya, raut wajahnya langsung berubah menjadi keras.
"Mau kamu sebenarnya apa sih? Saya tau kamu nggak mendukung aksi go green di sekolah ini, tapi nggak perlu bikin kacau dong!" semprot Litha.
Wira bingung harus menjawab apa, karena ia benar-benar tidak sengaja melakukannya. "Gue nggak sengaja tau! Lo jangan asal tuduh ya!" seru Wira akhirnya dan menghambur pergi meninggalkan Litha yang masih kesal akan perbuatannya barusan.
"Udah ngejatuhin, nggak bantuin pula!" Litha ngomel-ngomel sambil membersihkan pecahan pot.
"Sudah, nggak apa-apa, Litha,." kata Fahri sembari membantu Litha.
"Maaf ya, Fahri," balas Litha dengan nada tidak enak hati.
Fahri tersenyum memaklumi.
"Saya dengar pot-pot ini dananya dari kamu pribadi ya?" tanya Litha ketika pot yang pecah selesai dibersihkan. Fahri agak terkejut mendengar pertanyaan Litha.
"Kamu dengar dari mana, Lit?" tanya Fahri tanpa menatap lawan bicaranya. Ia pura-pura merapikan pot di samping kakinya.
"Ya... dari anak-anak. Tapi emang bener ya?" Litha menatap Fahri intense.
Fahri tidak langsung menjawab, ia memutuskan untuk meletakkan pot terakhirnya dulu. "Cuma sedikit rasa terima kasih kepada bumi kok, Lit. Nggak ada apa-apanya dibandingkan kamu yang udah berani mempelopori aksi go green ini. Kamu hebat banget!"
Pipi Litha bersemu merah dipuji begitu. Dalam hati ia membatin, Fahri nggak cuma cakep, pintar dan populer, ia juga berhati emas. Kalo dibandingin sama Wira sih, bagaikan bumi dan langit. Yah meskipun sama-sama cakep dan populer, tapi Fahri jelas punya nilai plus.
***
Hari ini akan diadakan Green Day, dimana semua warga sekolah diwajibkan untuk ikut kerja bakti membersihkan sekolah dan menanam beberapa pohon di halaman sekolah yang sebelumnya gersang.
Litha tampak lebih bersemangat hari ini, mata bulatnya berbinar-binar indah, memancarkan kecantikannya. Ia tampak sibuk menanam tanaman hias di pot besar di teras depan kelasnya bersama beberapa teman sekelasnya.
"Litha," tiba-tiba ada yang memanggilnya.
"Ya?" ujar Litha sembari berdiri dari posisi jongkoknya. Ketika melihat sosok yang berdiri di depannya, her face's turning into a frown. Ia mengira yang memanggilnya tadi adalah Fahri. Namun nyatanya yang ada di hadapannya saat ini adalah orang yang paling tidak ingin ia temui saat ini.
"Gue emang nggak bisa beli pot-pot tanaman buat menghias sekolah kayak Fahri," ujar Wira dengan raut serius.
Litha yang tadinya pengen langsung nyemprot, berpikir dua kali untuk benar-benar melakukannya.
"Tapi gue punya ini buat elo, Lit. Maafin gue ya?" Wira menyodorkan sebuah pot bunga kepada Litha. "Ini sebagai ganti pot yang udah gue pecahin kemarin."
Litha menerima pot bunga itu ragu, ia masih tidak percaya Wira berubah 180 derajat begini.
"Well, thanks." kata Litha sambil tersenyum, menimbulkan gejolak aneh di perut lawan bicaranya.
"Tapi ini bukan buat saya, ini buat bumi. Kamu cinta bumi kan?" tanya Litha di luar dugaan. Wira sempat nggak ngeh dengan maksud perkataan Litha, namun kemudian ia tersenyum penuh arti.
"Iya, gue cinta bumi," kata Wira akhirnya, di mana ada elo di dalamnya.
Tiba-tiba Litha menarik tangan Wira untuk mengikutinya mengambil pot-pot berukuran agak besar di suatu sudut di depan kelasnya. Ia minta Wira membantunya mengangkat pot-pot itu bersamanya, karena ia tak kuat mengangkatnya sendirian. Wira pun menyanggupi permintaan Litha.
Somehow Wira merasa inilah saatnya membuka kembali impiannya yang sudah ia pendam rapat-rapat itu.
I think I found her, batin Wira. ©