Halaman

My chasum

My chasum

Minggu, 16 Januari 2011

novel



CHAPTER 1:
MEMBELI RUMAH KUNO


Pesta sederhana itu berlangsung cukup meriah. Berkali-kali Pak Wibisono saling berpandangan dengan istrinya, saling tersenyum dengan manis, menandakan kebahagiaan sekaligus kepuasaan. Para tamu undangan yang datang dari jauh adalah mereka yang mulai hari ini resmi menjadi mantan tetangga. Kedatangan mereka adalah bukti bahwa Pak Wibisono sekeluarga tetap disayangi dan dihormati, bahkan mungkin disayangkan kepergiannya. Tamu yang lain adalah orang-orang sekitar yang akan menjadi tetangga baru.
Kesediaan mereka datang mengisyaratkan bahwa keluarga Wibisono diterima dengan baik di lingkungan mereka.
Di luar itu semua, yang paling membahagiakan Pak Wibisono adalah kenyataan bahwa mulai sekarang ia sudah memiliki rumah sendiri, setelah bertahun-tahun sejak menikah mereka hanya menempati rumah kontrakan.
Katanya, kesempurnaan seorang lelaki adalah apabila ia sudah memiliki sebuah rumah sendiri dari hasil jerih payahnya. Pak Wibisono bangga, biar pun untuk memiliki rumah ini, ia terpaksa harus meminjam uang kantor dan mengembalikannya dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Ia juga harus merelakan menjual sedan kesayangan dan menghabiskan hampir seluruh tabungannya.
Tapi kalau tidak begitu, kapan lagi kesempatan itu ada?
Rumah tua di pinggir kota ini tidaklah terlalu jelek.
Dengan sedikit perbaikan di sana-sini, Pak Wibisono yakin bisa menyulapnya menjadi tempat tinggal yang nyaman. Tenang karena letaknya yang di pinggiran, dan sejuk karena dekat perbukitan serta areal perkebunan kopi.
Semula Ibu Wibi kurang setuju dengan pilihan suaminya. Begitu juga dengan Miko, anak sulung mereka. Kata Miko, rumah tua ini kesannya sangat angker. Melihatnya dari luar, apalagi pada malam hari, selalu membuat bulu kuduknya berdiri. Seperti markas vampire!
Pak Wibisono selalu menertawakan anggapan putra tertuanya itu.
Kata beliau, itu akibat terlalu sering menonton film horor atau misteri di televisi. Menurut Pak Wibisono, rumah tua berarsitektur Belanda ini bisa menjadi investasi yang kelak amat berharga. Antik dan langka. Atas pertimbangan itulah Pak Wibisono bertahan dengan pilihannya. Apalagi ia tidak sendirian. Di luar dugaan, Karmila sangat antusias dengan pilihan ayahnya tersebut. Gadis manis, adik Miko yang duduk di kelas tiga SMP itu, justru selalu menyemangati ayahnya untuk segera menyelesaikan transaksi pembelian. Dua lawan dua. Dan karena ternyata rumah ini dijual dengan harga yang terbilang cukup murah, maka Ibu Wibi dan Miko terpaksa mengalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar